Cari Blog Ini

Senin, 22 Maret 2010

Soeharto Dan Militer

Ketika Jenderal Soeharto dikukuhkan oleh MPRS sebagai pejabat presiden pada tahun 1967, maka bisa dikatakan bahwa kemenangan Soeharto menyingkirkan Presiden Soekarno, adalah merupakan hasil kerjasama dari “ Tiga Hijau “, yaitu : Mahasiswa (yang masih hijau dalam politik ), golongan Islam ( yang memang berbendera Hijau ), dan Tentara ( yang berseragam hijau ), yang sebenarnya itu hanyalah untuk memperalat yang lain, sehingga timbul pertanyaan yang tidak terelakkan “ Berapa lama Aliansi Hijau “ itu akan bertahan ?.
Tidak selang lama penyingkiran Presiden Soekarno, para mahasiswa bangkit kembali dan mengadakan tirakat di depan Hotel Indonesia, sebagai perlambang menentang kecenderungan korupsi yang mereka anggap telah mulai kembali melanda Negara. Sejak itu hubungan mahasiswa dengan Orde Baru tidak lagi seharmonis ketika mereka bersama-sama apa yang disebut Orde Lama. Kemahasiswaan hanyalah dijadikan tempat persinggahan saja bagi penguasa yang ingin mendapatkan kekuatan politik.
Sejak kedudukan Soehato berada pada puncak kekuasaan menjalankan politik “anti Islam Politik’, dalam bahasa bergaya euphimisme , maka boleh dikatakan bahwa kebijaksanaan dasar politik Orde Baru adalah “ Depolitisasi Islam”, menjauhkan Islam dari politik. Dengan itu Orde Baru sebagai rezim yang anti “ Islam Politik”, terkadang dianggap sebagai rezim anti Islam.
Terjadi keanehan pada tahun 1990, Presiden Soeharto bukan saja menyetujui , bahkan mendukung dan membantu berdirinya ICMI. Hal ini mengingatkan pada almarhum Soekarno yang pernah mengandalkan dukungan PKI untuk menghadapi lawan politiknya di kalangan militer, pun demikian juga halnya dengan Soeharto yang menjadikan ICMI sebagai kekuatan politiknya dalam mengahadapi penentangnya dalam tubuh militer, seperti yang disampaikan Abdurrahman Wahid.
Namun pernyataan Gusdur itu terlalu berlebihan, karena dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Gus Dur justru membuat semakin meningkatnya kontrol Soeharto terhadap ABRI bahkan sampai pada puncaknya. Kontrolnya telah bermula dari saat-saat kritis bagi Angkatan Darat apalagi Negara RI, yang diawali dengan kegiatan penculikan beberapa perwira tinggi AD oleh pasukan Cakrabirawa dibawah pimpinan Letkol Untung dan membunuhnya, kegiatan itu berlangsung pada tanggal 30 September 1965 yang sering disebut dengan G-30 S/PKI, dari situlah langkah awal Soeharto mengkonsolidasikan kalangan militer.
PERSAINGAN DI SEKITAR SOEHARTO
Setelah reorganisasi dan depolitisasi ABRI, Soeharto telah memimpin politik dan militer yang domain. Pada awal 1970-an Soeharto bukan lagi sebagai pejabat Presiden tetapi telah dipilih menjadi Presidenoleh MPR, hasil pemilu 1971. Dua orang pembantunya tampil sebagai kekuatan politik yang penting, yakni Mayjen TNI Ali Murtopo, dan Jenderal Soemitro.
Persaingan antara Ali Murtopo dan Soemitro pun menjadi sumber gossip yang paling mengasyikkan sekaligus memprihatinkan di masa-masa itu, persaingan mereka berakhir pada saat terjadi peristiwa Malari ( Malapetaka Januari ). Yang pada akhirnya Soemitro mengundurkan diri dari jabatan Wapangab pada tanggal 15 Mei 1984.
Setelah Soemitro dan Ali Murtopo tersingkir, Soeharto mulai memulihkan kekuasaannya secara penuh pada ABRI. Dan muncullah nama-nama seperti LB Moerdani, Laksamana Sudomo, Jendral Yoga Sugama, mereka adalah orang kepercayaan soeharto.
Mulai muncul pertanyaan dari para perwira Seskoad , karena ABRI dianggap terlalu menonjol dukungannya terhadap Golkar dalam Pemilu 1977, sehingga meniadakan citra ABRI sebagai kekuatan politik ingin dianggap berada “diatas kekuatan politik”, sampai para siswa SESKOAD mendesak agar ABRI menahan diri dari keberpihakan pada Pemilu yang akan datang. Hal itu disambut oleh para purnawirawan yang tergabung dalam kelompok FOSKO (Forum Studi dan Komunikasi), yang menyatakan 3 hal, yaitu :
1. Dwifungsi harus ditinjau kembali
2. Kehidupan Demokrasi di Indonesia harus ditertibkan berdasar prinsip-prinsip demokrasi yang mendasar
3. ABRI harus kembali ke posisi semula
Baru pada tahun 1980 Soeharto menanggapi pernyataan itu, dan menyatakan dengan tegas bahwa ABRI kembali mendukung GOLKAR dan tidak berdiri di atas semua kelompok sosial politik, posisi ini semakin membingungkan para perwira. Kegiatan FOSKO yang didukung jenderal Widodo dan Jenderal M Jusuf. Disamping menghukum dan mengganti Widodo, jabatan Pangab dipastikan tidak lagi akan diemban oleh M.Jusuf, yang akhirnya Soeharto mempercayakan jabatan Pangab kepada Moerdani.


FAKTOR MOERDANI
Kepercayaan besar yang diberikan Soeharto kepada Moerdani, ternyata kemudian berbuntut pada timbulnya konflik antara Soeharto dan Moerdani, karena dianggap Moerdani sangat mendukung PDI, yang puncak jabatan Moerdani digantikan Try Sutrisno sebagai Pangab. Kekhawatiran Soeharto bahwa Moerdani akan menyabotase jabatan Golkar dari Sudharmono yang menjadi Wakil Presiden.
Terjadinya insiden “Ibrahim Saleh” , karena pada saat itu fraksi ABRI menolak pencalonan Wapres Sudharmono dan mempromosikan Jhon Naro dari PPP untuk menjadi Wapres. Moerdani dianggap sebagai dalang dari insiden itu, yang pada akhrnya fraksi ABRI berhasil mencegah Habibie menjadi Wapres dan mencalonkan Pangab Try Sutrisno sebagai Wapres yang ditetapkan oleh Tap MPR No. II/ 1973.
“PENGHIJAUAN ABRI”
Faisal dan R Hartono berasal dari keluarga muslim yang taat. ABRI dibawah Soeharto senantiasa dipimpin terutama oleh para perwira Jawa dengan latar belakang abangan (muslim sinkretis). Pada awal 1990-an orang mendengar adanya pengelompokan “golongan merah-putih”, golongan ini dianggap sebagai lawan dari “golongan hijau”. Golongan ini kabarnya berasal dari kubu Moerdani dan Menteri Pertahanan Edi Sudrajat.
Berbagai upaya sistematis dan sukses Presiden Soeharto untuk menyingkirkan Moerdani dan para anggota dari apa yang disebut “kelompok Moerdani” dalam tubuh ABRI . pada tahun 1992 , ketika sejumlah akademisi mulai berbicara tentang perlunya memperkecil jumlah kursi ABRI di DPR, Soeharto memberikan reaksi keras. Tidaklah benar bahwa dukungan terhadap Soeharto dalam tubuh ABRI semakin berkurang, sehingga perlu memobilisasi kekuatan lain diluar militer untuk mengahadapi ABRI.
PERALIHAN POLA KEPEMIMPINAN
Salah satu perbedaan penting dari pola masa lalu adalah ABRI saat ini dipimpin oleh generasi muda perwira yang tidak mengalami revolusi kemerdekaan. Mereka mendapatkan pendidikan professional kemiliteran di akademi militer. Para perwira generasi muda tersebut, menurut Moerdani adalah perwira “militer masa damai”. Mereka lebih professional, lebih terlatih secara militer , tetapi kurang berpengalaman dalam politik.
Wiranto, Prabowo, dan beberapa perwira generasi muda lainnya naik ke posisi komando dalam peralihan jabatan pada pertengahan akhir 1997 dan awal 1998. Peralihan tugas ini penting karena benar-benar merupakan perubahan generasi dalam kepemimpinan ABRI.
Tetapi yang paling menarik dari peralihan tugas ini adalah mengamati mereka yang menduduki jabatan-jabatan posisi yang paling strategis. Mereka adalah perwira yang secara pribadi dekat dengan Soeharto.
RENCANA LAIN SOEHARTO
Tetapi sejarah kemudian berkehendak lain. Melewati huru hara besar yang melanda Jakarta dan beberapa kota lainnya , pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto terpaksa menyerahkan jabatan Kepresidenan kepada BJ Habibie , seorang sipil, ke kursi kepresidenan. Namun, militer tidak mengambil alih kekuasaan, karena militerpun sedang berada dalam kondisi terpuruk oleh kemarahan masyarakat yang melihat tentara sebagai alat pelaksana kebijakan otoriter Soeharto. Dengan latar belakang inilah militer kemudian melaksanakan Rapim pada tahun 2000 dan memutuskan untuk meninggalkan Dwifungsi ABRI.
Bagi para pengamat politik dan politisi disekitar pusat kekuasaan waktu itu sulit untuk tidak meramalkan bahwa Soeharto sedang menyaiapkan putrinya Siti Hadiyanti Rukmana untuk menjadi penggantinya. Untuk tujuan itu Soeharto bukan saja mengontrol militer dari jangkauan para perwira yang loyalitasnya kepada lembaga ABRI berpotensi loyalitas mereka kepada Soeharto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar