Cari Blog Ini

Rabu, 17 Maret 2010

DILEMATIS PENEGAKAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF PROSEDUR PENANGKAPAN TERSANGKA

LATAR BELAKANG
Dalam proses berinteraksi antar individu dalam masyarakat diperlukan adanya keteraturan agar tidak merusak keseimbangan dinamika sosial bermasyarakat, yang menimbulkan konflik antar individu karena disebabkan oleh perebutan kelangkaan sumber daya yang ada. Untuk mengatur dinamika kehidupan tersebut maka berdasarkan nilai dan norma dalam masyarakat disepakati untuk pemberlakuan sanksi bagi pelanggarnya secara universal maka dibentuklah secara formal dalam bentuk hukum.
Hukum di Indonesia dilihat dari sejarahnya telah melewati tahapan-tahapan perkembangan pada setiap masanya. Dimulai dari masa penjajahan colonial Belanda, penjajahan oleh Jepang, terbentuknya Republik Indonesia Serikat hingga pemberlakuan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar fundamental dari tata hukum yang berkembang di Indonesia hingga saat ini dalam rangka pencapaian cita-cita luhur bangsa untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Polri sebagai ujung tombak dalam upaya penegakan hukum dalam masyarakat memiliki peran dan fungsi serta tugas pokok terkait perlindungan,pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta penegakan hukum (law enforcement) dalam rangka memelihara kamtibmas seperti yang telah diatur dalam UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam menjalankan tugas pokoknya yang bersentuhan secara langsung dengan masyarakat sering menimbulkan gesekan-gesekan antara Polri dengan masyarakat yang berakhir dengan upaya paksa yang harus dilakukan oleh Polri.
Salah tangkap dalam upaya penegakan hukum oleh kepolisian merupakan Salah satu fenomena yang kerap terjadi di Indonesia. Tidak jarang kasus ini sering menimbulkan kontra persepsi dalam masyarakat tentang profesionalisme polisi sebagai salah satu bagian dari Criminal Justice System. Berbagai kritik maupun tinjauan ilmiah terhadap institusi kepolisian tentang efektifitas kinerja polri selalu mengangkat persoalan fundamental tentang tingkat sensitifitas polisi dalam menghadapi suatu kasus yang harus diselesaikan dalam waktu yang cepat dan terbatas seperti yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang sistematika CJS dalam penanganan perkara.
Isu utama yang terkait dengan upaya paksa penangkapan dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri adalah tentang Hak asasi manusia. Dalam hal ini potensi konflik persepsi oleh masyarakat terhadap tindakan polisi tersebut sangat tinggi. Dimana setiap tindakan Polri dengan standard eskalasi kerawanan yang cukup tinggi tentunya akan menjadi sorotan public dari segala bidang kehidupan bermasyarakat dan berdampak pada timbulnya penilaian dalam perspektif yang berbeda-beda.
Namun dalam hal ini pertimbangan hukum material harus dilepaskan dari sudut pandang filosofi hukum. Sehingga kemurnian hukum yang dibentuk dalam dasar-dasar ketentuan yang berlaku tidak terganggu oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Keadilan sebagai cita-cita hukum merupakan prinsip dasar yang harus menjadi sumber penalaran objektif bagi polri, namun yang tidak kalah pentingnya bahwa kebenaran merupakan suatu hasil dari penerapan penegakan hukum yang murni dan konsisten dalam melakukan upaya paksa khususnya dalam melaksanakan prosedur penangkapan seperti yang telah diatur dalam pasal 17 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan mengkaji tentang efektifitas serta dampak tindakan penangkapan tersangka sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat dengan menggunakan perspektif Polri sebagai penegak hukum dan dilematis Hak Asasi Manusia dalam upaya penangkapan.

DASAR HUKUM
Adapun dasar hukum yang dijadikan pedoman dalam pembahasan makalah ini adalah :
1. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
2. Pasal 30 UUD 1945 tentang fungsi Polri
3. Tap MPR No VII/MPR/2000 tentang pemisahan TNI-POLRI
4. Undang-undang no 30 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5. Undang-undang no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
6. PP no 1,2, dan 3 tahun 2003 yang mengatur tentang Anggota Polri
7. Peraturan Kapolri no 7 tahun 2006 tentang Kode Etik Polri

Pemahaman Tentang Hukum
Menurut ahli hukum Utrecht : “Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dank arena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”. Selain itu J.C.T Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH mendefinisikan “ Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa , yang menetukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan , yaitu dengan hukuman tertentu”.
Dari dua pendapat pakar hukum tersebut diatas dapat dimpulkan bahwa hukum merupakan suatu peraturan yang bersifat memaksa dan mengikat serta memiliki sanksi yang tegas dengan tujuan untuk tercapainya suatu keseimbangan dalam hubungan antar anggota masyarakat. Sehingga dapat menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dengan bersendikan pada keadilan serta mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri, tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap dirinya.
Toleransi yang terwujud dalam bentuk kebijakan terhadap suatu peraturan merupakan celah dari terjadinya penyimpangan terhadap peraturan itu sendiri. Hal ini merupakan suatu pertimbangan logis dalam hubungan yang bersifat sebab akibat antara ketatnya sebuah peraturan yang berlaku terhadap fakta sosial yang ada dalam masyarakat. Beberapa pendapat ahli hukum tentang inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia memerlukan pemecahan masalah (problem solving) yang bersifat komprehensif, dalam hal ini dianggap penting tentang pelibatan masyarakat dalam pemantauan proses penegakan hukum. Sehingga perlunya pemahaman yang baik tentang prosedur penangkapan sebagai salah satu upaya paksa dalam penegakan hukum agar tidak menjadi titik mula terbentuknya celah kebocoran hukum
Oleh karena itu secara otomatis proses penegakan hukum akan membatasi kebebasan dari setiap manusia dalam konteks hubungan bermasyarakat. Kecenderungan efek dari penegakan hukum adalah pembatasan hak asasi dari setiap individu dengan tujuan terwujudnya keseimbangan dalam dinamika masyarakat. Sehingga dapat menimbulkan rasa ketidakpuasan serta keinginan untuk melawan terhadap hukum itu sendiri. Disinilah tugas polisi sebagai penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan kepolisian baik yang bersifat pre-emptif, preventif, maupun represif. Penangkapan tersangka merupakan upaya represif Polri dalam menciptakan siatuasi yang aman dan tertib bagi masyarakat khususnya pihak yang dirugikan akibat perbuatan melawan hukum.
2. Pemahaman Hak Asasi Manusia
Pada hakikatnya penangkapan sebagai upaya untuk melindungi kebebasan dan keselamatan manusia. Sehingga dalam hal ini haruslah ditetapkan berdasarkan prinsip umum perlindungan hak asasi manusia sebagai suatu pedoman dasar. Harus diingat bahwa kebebasan dan keamanan individu adalah hak-hak fundamental yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apapun dan bersifat tak terpisahkan. Segala bentuk upaya paksa khususnya dalam hal penangkapan harus secara jelas, permanen dan serempak melindungi kebebasan dan keamanan.
Berikut ini salah satu contoh kasus tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kepolisian dalam upaya penangkapan terhadap tersangka penadah dan pelaku pencurian emas di Jakarta beberapa waktu lalu :
Jakarta -- Jaenudin dan Kusnadi harus menerima perlakuan yang tidak manusiawi yang diduga dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara RI berupa, penganiayaan, pengeroyokan penyekapan, dan penculikan sehingga menyebabkan patah tangan, tulang rusuk, dan lebamnya hampir seluruh tubuh. Akibat peristiwa tersebut mereka melaporkan hal tersebut kepada Komnas HAM didampingi kuasa hukumnya Jhonson Panjaitan, Selasa (28/4). Keduanya mengadu ke Komnas HAM minta perlindungan hukum dan juga penyelidikan terhadap peristiwa penculikan dan penyiksaan tersebut.
“Kami diculik dan disiksa tanpa tahu apa kesalahan kami, saya dipaksa sambil dipukul dan ditendang untuk mengakui ikut dalam pencurian perhiasan emas sebagai penadahnya,” tutur Jaenudin. Jaenudin mengaku telah dianiaya di Markas Komando (MAKO) Kepolisian Negara RI Brimob dan di daerah Tol Kanci-Palimanan Cirebon Jawa Barat dan disebuah penginapan di daerah Indramayu di depan Rumah Sakit Umum Pantura. “Saya dipukul dan dianiaya untuk mengakui telah menadah hasil curian tersebut, karena sudah tidak kuat dan takut akhirnya saya berbohong dengan mengakui telah menadah barang curian tersebut dan barang tersebut disimpan Pak Kusnadi,” terang Juhendi.
Senada dengan Jaenudin, Kusnadi juga mengaku dianiaya oleh oknum Brimob untuk menunjukan dimana barang hasil curian disimpan. “Saya bilang saya tidak tahu apa-apa, saya persilahkan untuk menggeledah seluruh isi rumah saya, buktinya tetap tidak ada apa-apa,” tutur Kusnadi. Meskipun tidak ditemukan apapun dirumahnya, Kusnadi tetap dibawa secara paksa ke Jakarta dan telah mengalami penganiayaan disertai ancaman dengan senjata api di daerah Tol Kanci-Palimanan, Cirebon, Jawa Barat.
Komnas HAM yang diwakili Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Johny Nelson Simanjuntak, SH menyatakan akan menindaklanjuti aduan tersebut. Komnas HAM juga akan memberikan perlindungan hukum kepada kedua Pengadu tersebut. “Kami akan mengeluarkan surat perlindungan kepada kedua Pengadu, selain itu kami juga akan mengontak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk bisa memberikan perlindungan hukum juga kepada kedua Pengadu tersebut,” jelas Johny. Hal tersebut, menurut Johny, penting sebagai upaya untuk memberikan rasa aman bagi kedua Pengadu sebagai sebuah hak asasi yang dilindungi dalam Pasal 30 UU No. 39 tahun 1999 Tentang HAM. (zam)
Dari cuplikan berita yang disadur dari web site www.komnasham.go.id menunjukkan bahwa masih ada tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi manusia dalam prosedur penyidikan polri khususnya dalam proses penangkapan tersangka. Maka dampak yang ditimbulkan adalah munculnya permasalahan baru sebelum terungkapnya kasus pidana tersebut. Sehingga petugas kepolisian akhirnya harus berhadapan dengan hukum sebelum menerapkan hukum kepada tersangka yang diduga telah melakukan tindak pidana.
Beberapa pakar hukum menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi dalam proses penangkapan disebabkan oleh kewenangan yang sangat luas oleh seorang anggota polisi dalam pelaksanaan tugasnya serta adanya diskresi kepolisian dimana polisi dapat melakukan suatu tindakan diluar hukum menurut pertimbangannya sendiri dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal inilah yang menjadi salah kaprah dalam penerapannya ketika seorang anggota polisi tidak memiliki kemampuan penilaian yang tepat terhadap suatu dinamika yang terjadi.

Permasalahan Dalam Proses Penangkapan
Sebagaimana diatur dalam pasal 17 KUHAP yang menyatakan bahwa “ Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai bunyi pasal 1 ayat 14 KUHAP. Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.
Sering dalam realitas yang dihadapi oleh Polri menunjukkan bahwa setiap kali melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga tersangka mengalami hambatan-hambatan sosial yang justru muncul dari dalam masyarakat itu sendiri. Pandangan tentang tertangkapnya seseorang berarti menjadi suatu penurunan nilai maratabat dan derajat dalam posisi sosial tersangka tersebut di struktur masyarakat sekitarnya, sehingga kecenderungan yang terjadi justru orang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup tersebut mendapatkan perlindungan dari masyarakat setempat ketika akan dilakukan penangkapan oleh polisi.
Selain itu fakta juga menunjukkan bahwa polisi melakukan penangkapan karena dituntut untuk menangani suatu perkara pidana sesuai batasan waktu tertentu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan kualitas kinerjanya, sehingga diharapkan pengungkapan suatu kasus pidana dapat dilakukan dengan cepat,tepat dan efektif serta efisien. Namun dalam pelaksanaannya tidak sedikit kasus salah tangkap maupun tindakan berlebihan yang dilakukan oleh polisi ketika melakukan prosedur penangkapan.
Hal ini merupakan efek dari kewenangan polisi dalam menilai suatu kejadian dalam masyarakat tentang perkiraan kerawanan dan eskalasi kemungkinan bahaya bagi kestabilan keamanan masyarakat setempat sebagai suatu ancaman kamtibmas.


Sebuah contoh kasus tentang upaya penangkapan teroris di Pamulang, propinsi Banten baru-baru ini yang mengakibatkan tewasnya salah satu tersangka teroris besar yang bernama Dulmatin. Di satu sisi polri melakukan sebuah prosedur tetap sebagai hasil dari pengembangan penyelidikan maupun penyidikan teroris di Indonesia yang menunjukkan suatu prestasi besar bagi Polri dalam mencegah terjadinya “pengembangbiakan” sel-sel teroris di negara ini, namun disisi lain Komnas HAM menganggap hal tersebut merupakan suatu tindakan yang telah menyimpang dari ketentuan tentang Hak Asasi Manusia, dimana seharusnya Polri harus memberikan kesempatan untuk melaksanakan haknya untuk hidup sekalipun Dulmatin merupakan tersangka teroris yang sudah lama diburu oleh polisi sebagai tersangka “kelas wahid”. Namun satu hal yang perlu dipahami bersama bahwa sifat hukum adalah mengatur dan memaksa untuk menjamin tata-tertib dalam masyarakat itu sendiri.
Gambaran seperti kasus tersebut diatas menjadikan suatu dilematis bagi polri dalam menjalankan tugas pokoknya sebagai penegak hukum. Sehingga kecenderungan yang terjadi adalah meningkatnya upaya toleransi sebagai suatu langkah kebijakan yang diambil Polri ketika harus menegakkan hukum secara konsisten sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Beberapa kriteria tentang penangkapan sebagaimana diatur dalam pasal 18 KUHAP yaitu :
1. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Surat perintah penangkapan dikeluarkan oleh pejabat Kepolisian Negara Indonesia yang berwenang dalam melakukan penyidikan di daerah hukumnya.
2. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap serta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
3. Tembusan surat perintah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

Salah satu faktor utama yang sering diabaikan atau menjadi kelemahan dari petugas kepolisian saat melakukan penangkapan adalah tidak menggunakan surat perintah yang sah. Sehingga menjadi faktor pemicu terjadinya kesewenang-wenangan polisi terhadap tersangka dan bermuara pada gugatan pra peradilan oleh pihak tersangka kepada Polri.
Faktor yang kedua adalah dalam hal tertangkap tangan, dimana petugas kepolisian sering beraksi brutal untuk melakukan upaya penangkapan tanpa memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan saat itu. Sehingga dalam aksinya tidak jarang terjadi tindakan “overdosis” yang berdampak pada jatuhnya korban dari masyarakat yang tidak bersalah. Hal ini menjadi dua pandangan penting yang dilihat dari sisi hak asasi manusia yaitu hak asasi tersangka dan hak asasi masyarakat yang berada dalam lingkungan tempat penangkapan itu dilaksanakan oleh petugas.
Selanjutnya dalam KUHAP sebagaimana diatur dalam pasal 19 menjelaskan bahwa penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dapat dilakukan untuk paling lama satu hari (1x24 jam) dan untuk tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.
Hal ini menggambarkan bahwa dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku telah diatur adanya batasan-batasan dalam prosedur penangkapan. Namun fakta yang terjadi tidak sedikit petugas kepolisian yang melakukan penangkapan lebih dari batas waktu yang telah ditentukan dengan alasan masih dalam proses penyidikan. Kemudian fakta yang kedua adalah sering terjadinya penangkapan terhadap pelaku pelanggaran tanpa melayangkan surat panggilan sesuai tahapan sebanyak dua kali untuk selanjutnya dilakukan upaya paksa.



Dari dua realita tersebut diatas dapat dikaji beberapa faktor penyebabnya antara lain adalah :
1. Keterbatasan pemahaman petugas kepolisian terhadap ketentuan perundangan yang berlaku.
2. Minimnya jumlah personil serta keterbatasan dukungan anggaran untuk proses penyidikan sedangkan di satu sisi polisi harus bisa dengan cepat mengungkap fakta-fakta terjadinya suatu tindak pidana.
3. Terbatasnya fasilitas maupun sarana prasarana pendukung bagi penyidik dalam melakukan penangkapan dan pengembangan selanjutnya.
4. Petugas mengalami kesulitan untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka.
5. Adanya hidden of interest (kepentingan yang tersembunyi) dari pihak internal maupun eksternal Polri. Hal ini sering terjadi disebabkan pengaruh politis di wilayah hukum kepolisian setempat.
6. Pengaruh kebiasaan dan budaya dalam masyarakat setempat terhadap setiap pengambilan keputusan polisi untuk mengambil tindakan hukum pada saat terjadinya suatu kasus pidana.

Dampak Yang Muncul
Konsekuensi dari penyimpangan dalam prosedur penangkapan oleh kepolisian dapat menimbulkan beberapa dampak , antara lain:
a. Menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum. Sebagai upaya imbangannya masyarakat akan lebih memilih penyelesaian permasalahan khususnya yang terkait pidana melalui hukum adat ataupun berdasarkan norma, nilai, dan kebiasaan yang berlaku di lingkungannya.
b. Secara tidak langsung proses penangkapan yang tidak sesuai prosedur sebagai elemen dari sebuah penegakan hukum bukannya menimbulkan kesadaran hukum, tapi justru membina kekebalan hukum dalam masyarakat. Dalam hal ini masyarakat menganggap keberadaan hukum sebagai formalitas hiasan pemerintah belaka untuk mempertahankan kewibawaan sebuah pemerintahan, namun makna hukum sebenarnya tidak tampak dengan jelas dalam penerapannya.
c. Munculnya keinginan dari instansi lain yang ingin mengambil alih tugas dan kewenangan Polri. Penilaian terhadap kinerja Polri tidak sekedar menggunakan standar operasional yang ada dalam internal Kepolisian tetapi juga menggunakan standarisasi instansi itu sendiri sebagai bahan perbandingan dan menunjukkan kelebihannya dalam kompetensi pelaksananan penegakan hukum di Indonesia.

Pengawasan Terhadap Polri
Pada prinsipnya komponen tentang ketentuan perundang-undangan telah mengatur secara jelas pedoman prosedur penangkapan yang benar termasuk hal-hal penting yang terkait dalam rangka menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 17,18, dan 19 KUHAP bahkan keterkaitannya dengan kewenangan Polri dalam UU no 2 tahun 2002 dan Hak asasi manusia telah dijabarkan dalam UU NO 30 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Secara internal Polri juga diatur oleh Kode Etik yang diatur dalam PP no 1,2, dan 3 tahun 2003. Dalam KUHAP diatur juga tentang keberadaan lembaga pra peradilan sebagai sarana gugatan kepada Polri untuk masyarakat yang menjadi korban kesalahan prosedur oleh petugas kepolisian. Komponen peraturan tertinggi yang mengendalikan tindakan kepolisian dalam pelaksanaan tugasnya adalah Ketetapan MPR No VII/MPR/2000 pasal 7 ayat 4 yang mengatur bahwa anggota kepolisian negara republic Indonesia tunduk pada hukum peradilan umum. Diharapkan dengan rambu-rambu tersebut petugas kepolisian sebagai penegak hukum mampu menjabarkan dalam pelaksanaan penangkapan seorang tersangka.
Batasan-batasan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dilengkapi lagi dengan badan pengawasan terhadap Polri secara internal yakni Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum), Bidang Profesi dan Pengawasan Internal (Propam), dan Itwasda pada tingkat daerah. Secara umum seperti yang telah diatur dalam pasal 37 UU No 2 Tahun 2002 tentang keberadaan lembaga Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden dan bertugas mengawasi pelaksanaan tugas Polri.
Seharusnya berdasarkan hal tersebut diatas, dalam melaksanakan tugasnya khususnya prosedur penangkapan terhadap tersangka tidak ada penyimpangan yang dilakukan oleh petugas kepolisian. Karena pagar pembatas sebagai koridor Polri dalam pelaksanaan tugasnya sangat padat, bahkan dapat dikatakan dilengkapi dengan ranjau-ranjau berbahaya apabila anggota Polri melanggarnya. Namun, fakta di lapangan selalu menunjukkan bahwa masih sangat tinggi jumlah penyimpangan prosedur bahkan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh petugas kepolisian itu sendiri pada saat melakukan penangkapan tersangka, sehingga tidak jarang menimbulkan korban dalam masyarakat, maupun kerugian bagi petugas tersebut.

KESIMPULAN
Pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia hingga saat ini telah melalui sejarah panjang yang membentuk karakter masyarakat maupun karakteristik hukum itu sendiri. Polri sebagai bagian dari aparat pelaksana penegakan hukum memiliki kewenangan-kewenangan yang diatur dalam tata urut perundang-undangan di Indonesia, memiliki tugas pokok sebagai penegak hukum dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.
Salah satu kewenangan Polri berdasarkan pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah melakukan upaya paksa dalam prosedur penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Namun fakta dilapangan menunjukkan beberapa hal yang menjadi fokus pembahasan antara lain :
1. Prosedur penangkapan sebagai salah satu upaya penegakan hukum seringkali menjadi posisi dilematis bagi Polri dalam konteks pelaksanaan tugas pokoknya apabila dipengaruhi oleh tekanan-tekanan dari pihak eksternal tertentu dalam masyarakat dengan muatan kepentingan tertentu pula.
2. Dalam ketentuan perundang-undangan memang secara jelas mengatur pedoman-pedoman yang melindungi Polri dalam melakukan penegakan hukum, seperti penangkapan tersangka. Namun faktanya juga menjadi suatu kondisi dilematis pelaksanaan penegakan hukum bagi Polri ketika harus berbenturan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Sehingga suatu penilaian hukum menjadi tidak murni lagi pada saat sudah tidak dapat menjamin suatu keamanan maupun kepastian hukum dengan alasan pertimbangan nilai-nilai hak asasi manusia dan hati nurani.
3. Berbagai keterbatasan yang ada dalam tubuh Polri seperti minimnya sarana dan prasarana pendukung, terbatasnya anggaran, kurangnya jumlah personil, maupun minimnya sumber daya manusia menjadikan salah satu pemicu terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh petugas kepolisian dalam melakukan upaya penegakan hukum yang cepat, tepat, murni, memenuhi prinsip keadlian dan dalam mengungkap suatu kebenaran.
4. Pencapaian tujuan penegakan hukum untuk menciptakan kestabilan dalam dinamika masyarakat tidak semudah penalaran tentang posisi netralitas polri sebagai aparat penegak hukum dalam penanganan perkara. Banyak pertimbangan yang harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku namun tidak sedikit pula pertimbangan yang memerlukan perhatian khusus terhadap fakta kehidupan dalam struktur masyarakat sebagai makhluk sosial.

SARAN
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas penulis ingin menyampaikan beberapa saran sebagai bentuk problem solving:
1. Pentingnya pemahaman tentang prosedur penegakan hukum khususnya dalam penangkapan tersangka dengan cara meningkatkan pelatihan-pe;atihan serta pendidikan khusus dengan spesialisasi point per point upaya paksa, misalnya : pendidikan kejuruan penangkapan, pendidikan kejuruan penggeledahan, dan lain sebagainya. Sehingga dapat membantu Polri dalam meningkatkan profesionalismenya dan secara bertahap juga mengikis budaya-budaya menyimpang secara internal.
2. Perlunya sosialisasi secara rutin kepada masyarakat tentang upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat khususnya pihak kepolisian bahwa upaya penangkapan merupakan bagian dari proses pembuktian suatu tindak pidana atau kejahatan. Bukan sebagai momok yang menakutkan bagi masyarakat dalam mengahadapi tindakan kepolisian ini. Bahkan disuslkan juga untuk pelibatan komponen masyarakat dalam pelatihan-pelatihan Polri tentang upaya penegakan hukum hingga kebersamaan dalam penerapannya, sehingga terbina jaringan yang sudah cukup kuat antara polisi dan masyarakat sebagai mitra kepolisian.
3. Perlunya peningkatan anggaran , peningkatan sarana dan prasarana, serta jumlah personil Polri agar dapat menjangkau seluruh masyarakat sesuai dengan kebutuhan yang ada.
4. Perlunya kordinasi rutin antara pihak kepolisian dengan berbagai instansi baik pemerintah maupun non pemerintah, termasuk lembaga akademisi untuk turut bekerjasama dalam mendukung upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian dalam rangka analisa dan evaluasi serta pelibatan sesuai dengan bidangnya.
5. Perlunya kesadaran dari komponen masyarakat yang berasal dari eksternal Polri bahwa kekuatan hukum adalah untuk menciptakan suatu keadilan dan mengungkap suatu kebenaran bagi masyarakat, bukan sebagai alat untuk memenuhi suatu kepentingan tertentu atau bahkan untuk mempertahankan kekuasaannya dalam suatu bidang.
6. Perlunya tindakan tegas dari petugas kepolisian dalam upaya penegakan hukum tanpa pandang bulu atau tebang pilih, sehingga kewibawaan sebagai aparat penegak hukum tetap terjaga. Kalimat ini memang tampak terlalu hiperbola dengan maksud normative, namun konsekuensi kepentingan pribadi harus disingkirkan demi kepentingan hajat hidup orang banyak merupakan suatu tindakan moral yang akan dibalas dengan “ Upahmu besar di Sorga”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar