Cari Blog Ini

Rabu, 17 Maret 2010

PENEGAKAN HUKUM DALAM REALITAS KEMANUSIAAN

Studi Kasus Pencurian Buah Kapas di Kabupaten Batang Propinsi Jawa Tengah
PENDAHULUAN

a. Latar belakang

Harapan setiap insan manusia untuk mendapatkan keadilan dalam suatu pola kehidupan baik secara individu maupun kelompok merupakan bagian dari hak dasar manusia yang termaktub di dalam pengertian hak asasi manusia secara umum, dengan tujuan agar dapat menjalankan proses kehidupan dengan rasa aman, tenteram, dan damai untuk mencapai tujuannya dalam rangka pemenuhan kebutuhan sebagai upaya mempertahankan hidup.
Kejahatan dan pelanggaran merupakan suatu fenomena konflik kehidupan sosial dalam masyarakat yang dapat menghambat terwujudnya harapan akan rasa tenteram dan damai sebagaimana yang diharapkan oleh semua bagian dari masyarakat baik secara parsial maupun secara keutuhan kelompok, serta sebagai suatu dinamika kehidupan yang senantiasa berkembang sesuai perubahan yang ada dalam kelompok masyarakat itu sendiri.
Dalam hal ini sangat penting keberadaan hukum sebagai pondasi untuk setiap pengambilan keputusan dengan cara netral untuk penyelesaian konflik sosial dalam masyarakat berdasarkan kebenaran yang hakiki agar dapat mewujudkan suatu keadilan serta menjalankan fungsi hukum lainnya yakni sebagai alat pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat sebagai suatu kelompok. Tanpa hukum yang jelas dan benar maka akan berlaku hukum rimba yang mengarah pada chaos dimana masing-masing individu dari kelompok sosial menggunakan persepsinya masing-masing dalam penyelesaian setiap konflik sosial dengan kekuatannya untuk mengambil tindakan hukum.
Proses hukum terhadap kasus pencurian buah kapas (randu) yang terjadi beberapa waktu lalu di Kabupaten Batang, Jawa Tengah merupakan suatu fenomena yang memunculkan kontra interpretasi maupun persepsi dalam masyarakat mengenai ketimpangan hukum dalam memberikan suatu efek jera bagi tindak pidana yang dilakukan oleh para tersangka. Sehingga terbentuk beragam opini dalam masyarakat yang menyatakan bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat hukum memiliki kecenderungan berpihak pada kekuasaan atau kekuatan uang karena dari sisi lain beberapa kasus besar yang melibatkan para pejabat pemerintahan maupun orang berduit masih sangat banyak yang berhenti di tengah jalan bahkan tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.


Oleh karena itu dalam makalah ini penulis ingin melakukan suatu tinjauan ilmiah terhadap kasus pencurian buah kapas (randu) yang terjadi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah dari sudut pandang penegakan hukum maupun rasa kemanusiaan dalam penerapan efek jera bagi setiap pelaku tindak pidana maupun sebagai alat kontrol sosial.

b. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kasus pencurian buah kapas (randu) yang terjadi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah serta melakukan tinjauan ilmiah terhadap kasus tersebut guna memberikan saran sebagai upaya mewujudkan keadilan dalam proses penegakan hukum melalui pertimbangan rasa kemanusiaan.



c. Ruang Lingkup
Dalam penyusunan makalah ini, penulis membatasi dalam konteks proses hukum terhadap kasus pencurian buah kapas (randu) yang terjadi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

d. Metode Penulisan
Penulisan makalah ini penyusun menggunakan metode studi kepustakaan yakni dengan memperoleh konsep teoritis melalui buku-buku referensi dan informasi dari media elektronik (internet) yang terkait dengan kasus pencurian buah kapas (randu) di Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

e. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika yang digunakan dalam penulisan makalah ini terdiri dari :
1. Pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup, metode penulisan, sistematika penulisan.
2. Pembahasan yang berisi identifikasi masalah, konsep teoritis, analisa kasus dan pendapat praktis.
3. Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

PEMBAHASAN

a. Identifikasi Masalah
Sudah sebulan empat warga pemungut kapas di lahan milik PT Sigayung, di Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jawa Tengah mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Rowobelang. Mereka dituduh telah mencuri dua kilogram kapas senilai Rp4 ribu.Casmurah, keluarga pelaku di Batang, Selasa, mengaku terkaget-kaget ketika polisi melakukan penangkapan terhadap ibu dan tiga saudaranya dengan alasan melakukan pencurian dengan pemberatan (curat). Mereka yang ditangkap polisi, Rusnoto, 14, Juwono, 16, Sri Suratmi, 25, dan Manise, 39, semuanya warga Dusun Secentong, Desa Kenconorejo, Kecamatan Tulis."Mereka telah mendekam sekitar satu bulan di Rutan Rowobelang untuk menunggu proses hukum di pengadilan," katanya.Kini nenek pelaku, Rasuti, 60 hanya pasrah, empat anggota keluarganya yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi, menjadi tahanan. Selama ini, kata Casmurah, sang nenek mengandalkan kebutuhan hidupnya pada keempat tersangka pencurian kapas itu. "Nenek Rasuti, setiap harinya hanya bisa mendapatkan makanan dari hasil keluarganya. Namun akibat mereka dipenjara, Rasuti hanya pasrah dan menunggu uluran tangan dari tetangganya."Kasus tersebut berawal dari Manise dan dua anaknya serta Sri Suratmi memungut kapas yang jatuh ke tanah dari sisa panen kapas milik PT Sigayung. Mereka, kata Casmurah, memungut kapas tersebut karena dianggap sudah tidak diambil lagi oleh PT Sigayung. Ternyata, tindakan mereka dinilai telah melakukan pencurian oleh PT Sigayung sehingga dilaporkan ke Polres Batang[1].
Dari sumber berita di atas menggambarkan informasi tentang kronologis kejadian hingga proses hukum terhadap para tersangka pencurian buah kapas (randu) dengan pelapor pihak PT. Sigayung di Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang mengedepankan opini mengenai ketimpangan rasa kemanusiaan terhadap masyarakat kelas bawah dalam tindakan penegakan hukum.
Kasus ini dan beberapa kasus serupa lainnya menjadi sorotan utama media massa baik cetak maupun elektronik untuk dijadikan konsumsi publik pada saat ini. Kecenderungan pembentukan opini terkait upaya ‘penindasan’ terhadap masyarakat kecil dengan ekonomi lemah oleh aparat penegak hukum semakin menguat seiring dengan meningkatnya dukungan berbagai elemen masyarakat terhadap para tersangka sebagai pihak yang dikorbankan oleh proses penegakan hukum.
Hal ini sebagai dampak dari perkembangan penanganan kasus-kasus tindak pidana besar seperti white colar crime dan beberapa kasus atensi masyarakat lainnya yang marak terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia bahkan adanya keterlibatan di kalangan para pejabat pemerintahan tingkat pusat yang prosesnya berjalan tersendat-sendat dan mendapatkan hukuman yang ringan bahkan putusan bebas, sehingga menimbulkan pola interpretasi perbandingan oleh masyarakat ketika ada kasus tindak pidana dengan persepsi perbuatan ringan dilakukan oleh masyarakat kecil mendapatkan hukuman yang tidak sebanding dengan kondisi sosial maupun ekonominya.
Persepsi masyarakat secara umum tersebut juga bersumber dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum, sebagai dampak dari adanya beberapa proses penegakan hukum di kewilayahan yang masih terpengaruh oleh intervensi money power ataupun kekuasaan jabatan tertentu, dimana masyarakat biasa yang juga mengalami secara langsung proses hukum merasakan perlakuan yang berbeda baik dalam pelayanan maupun pemberian putusan hukum dengan kalangan masyarakat kelas atas walaupun memiliki bobot tindak pidana yang sama.
Oleh karena itu beberapa point yang menjadi sumber permasalahan dari kasus ini adalah sebagai berikut :
1) Para pelaku pencurian tersebut berasal dari masyarakat kelas bawah dengan tingkat ekonomi yang rendah sehingga apabila mendapatkan sanksi pidana maka akan menimbulkan permasalahan baru yakni kerugian bagi pihak keluarga mereka baik secara material maupun sosial.
2) Perbuatan pidana dalam hal ini pencurian yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup semata, sehingga dari sudut pandang jumlah barang bukti yang dinilai memiliki harga jual sangat kecil dan dianggap sebagai tindakan yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat sekitar sebagai sumber mata pencaharian.
3) Bagaimana cara aparat penegakan hukum dalam menangani kasus pidana yang berlatar belakang pertimbangan kemanusiaan dalam perspektif masyarakat secara umum.

b. Konsep teoritis

Dalam kompleksitas sudut pandang terhadap kasus ini dapat pula di ambil beberapa konsep teori :
IW Friedman tentang Legal Theory yang menyatakan bahwa dalam hukum ada empat unsur , yakni :
1) Didalamnya termuat aturan atau ketentuan
2) Bentuknya dapat tertulis dan tidak tertulis
3) Aturan atau ketentuan tersebut mengatur masyarakat
4) Tersedia sanksi bagi para pelanggarnya
Dan tujuan hukum adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh hukum yakni keadilan dan kepastian hukum (perlindungan hukum). Tujuan mempertahankan ketertiban masyarakat dapat dicapai dengan melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat secara seimbang. Implementasi dari tujuan hukum tersebut dapat dilaksanakan pada suatu negara yang berdasarkan hukum. Untuk mencapai tujuannya hukum haruslah ditegakkan, dalam hal ini hukum tersebut dapat diasumsikan sebagai hukum yang baik (walau faktanya ada juga hukum yang tidak baik).
Selain itu diperlukan juga sistem hukum yang baik, Friedman menyatakan bahwa dalam sistem hukum terdiri dari struktur, substansi, dan kultur hukum.
Menurut Friedman struktur hukum adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia misalnya jika kita berbicara tentang struktur system hukum Indonesia maka termasuk didalamnya struktur institusi penegakan hukum yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, dan lembaga permasyarakatan.
Yang dimaksud substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang ada dalam system tersebut. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam system hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law ( hukum yang hidup), dan hukum bukan hanya aturan yang tertulis dalam kitab undang-undang atau law in the book.
Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum (kepercayaan), nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum juga adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Jadi, kultur hukum sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum.
Hubungan antara tiga unsur system hukum tersebut dapat diilustrasikan sebagai pekerjaan mekanik yang saling terkait dan tidak dapat bergerak secara keseluruhan apabila salah satu unsurnya tidak dijalankan[2].
Walter C Recless membedakan karir penjahat dalam : penjahat biasa, penjahat berorganisasi, dan penjahat professional. Penjahat biasa adalah peringkat terendah dalam karir kriminil, mereka melakukan kejahatan konvensional, mulai dari pencurian ringan sampai pencurian dengan kekerasan yang membutuhkan keterampilan terbatas, juga kurang mempunyai organisasi. Penjahat terorganisasi umumnya mempunyai organisasi yang sangat kuat dan dapat menghindari penyelidikan, serta mengkhususkan diri dalam bisnis illegal berskala besar, kekuatan, kekerasan, intimidasi dan pemerasan digunakan untuk memperoleh dan mempertahankan pengendalian atas ekonomi diluar hukum.
Penjahat profesional lebih mempunyai kemahiran yang tinggi dan mampu menghasilkan kejahatan yang besar dan sulit diungkap oleh penegak hukum. Penjahat-penjahat ini mengkhususkan diri dalam kejahatan-kejahatan yang lebih membutuhkan keterampilan daripada kekerasan.
Menurut G. PeterHoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
a. penerapan hukum pidana (criminal law application)
b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan danpemidanaanlewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/massmedia)
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapatdibagi dua, yaitu lewat jalur 'penal' (hukum pidana) dan lewat jalur 'non penal'(bukan/diluar hukum pidana). Dalam pembagian GP. Hoefnagels tersebut diatasupaya-upaya yang disebut dalam (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal.
Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, Cuba,diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, antara lain:
a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekuranganperumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidakcocok/serasi;
b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena81 proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangansosial;
c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga;
d. Keadaan-keadaan/ kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;
e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan dibidang sosial, kesejahteraan clan lingkungan pekerjaan;
f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga;
g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya didalam lingkungan masyarakatnya,keluarganya, tempat kerjanya atau lingkungan sekolahnya;
h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yangpemakaiannya juga diperlukan karena faktor-faktor yang disebut diatas;
i. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian;
j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikapsikap tidak toleransi.

c. Analisa kasus

Ada dua sudut pandang yang menjadi kontradiksi sebagai fokus analisis tinjauan ilmiah yang dilakukan oleh penulis melalui makalah ini yakni :
- Sudut pandang aparat penegak hukum dalam melakukan penerapan pasal untuk pemenuhan unsur-unsur pidana (pembuktian secara fakta hukum) .
- Sudut pandang sebagian besar elemen masyarakat dari segi pertimbangan kemanusiaan serta interpretasi perbandingan terhadap ketimpangan proses hukum dalam rangka penyelesaian proses pidana dengan latar belakang perbedaan kelas dan status pelaku dalam kelompok sosial.

1) Sudut pandang hukum :
Dalam kasus ini pihak para tersangka didakwa dengan pasal 363 ayat 1 KUHP yakni pencurian buah kapas (randu) dengan pemberatan dimana beberapa pendapat ahli hukum seperti Prof. Wirjono menterjemahkannya dengan “pencurian khusus” sebab pencurian tersebut dilakukan dengan cara-cara tertentu. Sedangkan R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana menafsirkan “pencurian dengan pemberatan”, sebab dari istilah tersebut sekaligus dapat dilihat bahwa, karena sifatnya maka pencurian itu diperberat ancaman pidananya.
Adapun unsur-unsur dari tindak pidana pencurian dengan pemberatan adalah sebagai berikut :
· Pencurian ternak.
· Pencurian pada waktu ada bencana, kebakaran, dan sebagainya.
· Pencurian pada malam hari di dalam sebuah rumah kediaman, dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa setahu atau bertentangan dengan kehendak yang berhak.
· Pencurian itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih
Menggunakan cara-cara:- membongkar
- mematahkan - memanjat
- memakai anak kunci palsu - memakai perintah palsu
- memakai pakaian jabatan palsu
Pola penerapan pasal terhadap kasus ini sudah memenuhi unsur-unsur pidana yang secara jelas diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sehingga jaksa memberikan P21 dalam pelimpahan berkas oleh penyidik Polri. Sehingga secara fakta hukum dapat dinilai bahwa kasus ini tidak memiliki cacat secara hukum untuk dilanjutkan ke tingkat Criminal Justice System yang lebih tinggi.
2) Sudut pandang kemanusiaan :
Namun dalam interpretasi beberapa elemen masyarakat yang berkembang adalah opini bahwa kasus tersebut dinilai dari sudut pandang rasa kemanusiaan, dimana latar belakang tingkat kehidupan ekonomi para tersangka yang rendah serta nilai barang yang diambil sangat kecil dibandingkan dengan sanksi pidana dan proses hukum yang akan mereka jalani sebagai akibat dari perbuatannya.
Sehingga menurut penilaian masyarakat berdasarkan pemikiran sosial diharapkan dalam pengambilan keputusan terhadap kasus ini oleh aparat penegak hukum agar mendasari setiap pertimbangan hukum dari segi kemanusiaan. Karena apabila para tersangka pencurian buah kapas tersebut tetap diberikan sanksi pidana sesuai penerapan pasal 363 KUHP maka tidak akan menyelesaikan permasalahan justru akan menambah munculnya suatu permasalahan baru yang akan berdampak negatif bagi tersangka, keluarga, lingkungan, pihak perusahaan PT Sigayung yang berada di lingkungan tersebut serta dinilai sebagai suatu keterpurukan hukum Indonesia yang hanya ditegakkan bagi masyarakat kecil. Salah satu dampak yang sangat berbahaya adalah pada saat hukum tidak lagi dapat digunakan sebagai dasar kontrol sosial dan diberlakukannya hukum rimba oleh mayoritas rakyat Indonesia yang masih berada dalam level kehidupan menengah ke bawah sehingga kewibawaan pemerintah pun akan semakin memburuk.


d. Pendapat praktis
Berdasarkan identifikasi masalah, konsep teoritis dan analisa kasus diatas tinjauan ilmiah terhadap kasus pencurian buah kapas (randu) yang terjadi di Kabupaten Batang , Jawa Tengah penulis berpendapat bahwa dalam proses penegakan hukum untuk mencapai tujuannya yakni keadilan dan kepastian hukum perlu memperhatikan asas manfaat hukum dimana terciptanya suatu keteraturan dalam masyarakat tidak semata-mata berorientasi secara kaku pada bentuk undang-undang yang tertulis namun juga harus memperhatikan hasil yang akan dicapai dari proses hukum itu sendiri.
Dalam kasus ini tidak berarti bahwa aturan baku dikesampingkan dan tindakan pencurian di halalkan, namun faktor-faktor sosial dibalik perilaku daripada para tersangka dengan latar belakang kehidupan mereka serta tuntutan pemenuhan kebutuhan hidupnya juga dapat dijadikan pertimbangan bahwa dalam tindak pidana pencurian yang dilakukan murni sebagai upaya untuk mempertahankan hidupnya.
Para tersangka dapat dipertemukan dengan pihak perusahaan PT. Sigayung untuk melakukan komunikasi dengan mediasi aparat penegak hukum dalam bentuk pembinaan bahkan dapat dikembangkan dalam bentuk upaya perekrutan terhadap mereka sebagai tenaga kerja pada perusahaan tersebut sehingga keuntungan dapat diraih oleh kedua pihak. Proses penegakan hukum terhadap kasus ini dapat digunakan pola penyelesaian masalah diluar hukum (non penal) guna mencapai tujuan hukum yang tepat sasaran dan tidak berdampak pada pembentukan opini negatif publik terhadap aparat penegak hukum maupun kualitas hukum itu sendiri.

PENUTUP

a. Kesimpulan

Kasus pencurian buah kapas (randu) di Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang melibatkan empat orang tersangka dengan barang bukti 2 Kg kapas senilai Rp. 4000,- mencerminkan sekelumit dari kisah proses penegakan hukum di Indonesia yang belum memperhatikan factor-faktor sosial dan asas manfaat hukum dalam mencapai suatu penyelesaian permasalahan dalam masyarakat.
Insting penegakan hukum yang bersifat situasional belum mengakar dalam individu oknum aparat penegak hukum, sehingga dapat menimbulkan suatu kontradiktif dalam persepsi masyarakat dengan tingkat resiko jangka panjang yang cukup tinggi apabila melakukan pengambilan keputusan tanpa pertimbangan yang utuh terhadap suatu kompleksitas unsur permasalahan secara utuh.
Dalam proses penyelesaian kasus ini tidak semata-mata ditinjau dari segi hukum tertulis saja namun dapat digunakan strategi komunikasi dan pengawasan secara komprehensif di wilayah sekitar TKP melalui peningkatan jaringan kordinasi dengan seluruh pihak yang terkait oleh pihak kepolisian setempat. Selain itu perlu dipahami bahwa dalam situasi dan kondisi tertentu prioritas terhadap aspek manfaat hukum merupakan hal yang sangat penting untuk pencapaian tujuan hukum itu sendiri

b. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas ada beberapa saran yang dapat menjadi masukan yang dapat disampaikan antara lain sebagai berikut :
1) Perlunya pemahaman bagi aparat penegak hukum khususnya yang terkait dalam criminal justice system dalam mengklasifikasikan pola penanganan sebuah kasus pidana melalui sistem kordinasi horizontal apabila menghadapi permasalahan yang bersifat komprehensif dan berdampak luas.
2) Perlunya pendekatan kepada seluruh elemen masyarakat melalui sosialisasi hukum baik secara rutin maupun periodik guna meningkatkan kesadaran dan pengetahuan hukum masyarakat.

Penulis

EDWARD JACKY T U KALEDI















DAFTAR PUSTAKA


Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perpolisian Masyarakat, Jakarta, 2006

Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Semarang, 1991

Para Dosen PTIK (alumni pasca sarjana) ,Himpunan teori pendapat para sarjana yang terkait dengan kepolisian, PTIK, Jakarta, 2009














[1] Sumber berita: www.beritabaru.com
[2] Legal Theory oleh L.W Friedman, Stevens & Sons Ltd. Himpunan teori, pendapat para sarjana yang terkait dengan kepolisian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar